Lihat kebunku penuh dengan bunga. Ada yang putih dan ada yang merah. Setiap hari kusiram semua. Mawar melati semuanya indah.
Bencana, bencana, bencana, bencana, mungkin itu kabut-kabut kehidupan yang berganti menyelimuti Indonesia beberapa tahun terakhir. Belum sepenuhnya pulih dari banjir dahsyat Jakarta, tiba-tiba tanah longsor menggelegar, gempa bumi memakan nyawa, pesawat Garuda terbakar. Bencana seperti tidak bosan-bosannya menggoda jiwa Indonesia. Seorang sahabat asli Jawa, berulang-ulang menyebut kata miris. Seorang psikiater mengutip sebutan tua tentang zaman edan, tatkala menyaksikan seorang Ibu membakar diri dan sejumlah putera-puterinya karena terhimpit kesulitan kehidupan. Salah seorang penulis luar, bahkan memberi judul menyentuh di International Herald Tribune, Indonesia: Mass murder or natural disaster, terutama setelah menghitung ratusan ribu nyawa yang melayang akibat bencana.
Berduka, bersedih, tersentuh oleh penderitaan sesama tentu salah satu tanda pertumbuhan jiwa. Di Timur telah lama diajarkan, untuk memasuki wilayah-wilayah kesucian bahkan menginjak rumput pun dilarang. Terutama karena setiap rasa sakit yang kita timpakan ke ciptaan lain, akan kembali menyakiti diri ini. Sehingga sungguh layak disyukuri kalau Indonesia masih memiliki demikian banyak hati yang punya empati.
Cahaya bencana
Dengan tetap menghormati banyak hati yang punya empati, banyak guru setuju kalau jalan-jalan keindahan apa lagi kesucian tidak ada yang sepenuhnya lurus dan mulus. Semakin indah sebuah tujuan, semakin berat jalan-jalan yang harus dilalui. Bila ini cara memandangnya, mungkin Indonesia bisa menarik nafas dalam-dalam sebentar. Menghimpun energi untuk melewati banyak tanjakan serta kelokan di depan yang masih banyak menghadang.
Dalam jeda jiwa seperti ini, bisa jadi berguna kalau merenung sebentar tentang cahaya-cahaya bencana. Bagi banyak jiwa, bencana identik dengan kematian, perpisahan, kesedihan, duka cita. Dan tentu saja ini teramat manusiawi.
Sedikit jiwa yang mau menggali lebih dalam kalau di balik bencana, ada sejumlah langit kehidupan yang tersingkap rahasianya. Ketakutan, kesedihan adalah masukan berguna tentang keinginan yang demikian mencengkeram. Semakin mencengkeram keinginan, semakin menakutkan wajah bencana. Ada keinginan agar kehidupan hanya berwajah damai, keluarga yang hanya boleh bahagia, perpisahan yang identik dengan hukuman, kemiskinan sama dengan kutukan.
Dan melalui hentakan-kentakan bencana, manusia sedang diingatkan, seberapa kuat pun keinginan mencengkeram, kehidupan tetap harus berputar. Bila saatnya matahari tenggelam, tenggelamlah ia. Ketika putaran bumi harus ditandai oleh gempa, gempalah yang menjadi sahabat kehidupan. Bila kematian sudah waktunya berkunjung, berkunjunglah ia menjadi sahabat kehidupan. Makanya, seorang ayah berpesan kepada putera-puterinya, kematian datang bukan karena penyakit, bukan karena dikerjain orang, bukan juga akibat bencana, kematian datang memang karena putaran waktunya sudah tiba. Penyakit, bencana hanyalah pintu-pintu pembuka.
Bila ini cara meneropongnya, tidak saja keinginan mulai longgar cengkeramannya, namun cahaya-cahaya bencana juga terbuka. Ternyata bencana lebih dari sekedar hulunya kesedihan, ketakutan dan kutukan, ia juga membukakan pengertian tentang wajah kehidupan yang lebih utuh.
Serupa dengan lagu anak-anak yang dikutip di awal tulisan ini, hidup serupa dengan mengurus taman. Kendati yang ditanam rumput Jepang, ada rumput liar yang ikut tumbuh. Kendati sudah banyak berbuat baik, banyak berdoa, sering ke tempat ibadah, bila saatnya bencana menggoda, ia tetap menggoda. Bila rumput Jepang yang ditanam seratus meter, rumput liar hanya mengambil porsi sedikit sekali. Demikian juga dengan kehidupan, sehat berumur bertahun-tahun tapi kerap lupa disyukuri. Sakit hanya segelintir hari sudah penuh dengan caci maki. Indonesia sebentar lagi mau berumur 62 tahun, hanya seglintir hari yang digoda bencana.
Taman jadi indah karena penuh bunga dan warna. Kehidupan juga serupa. Kebahagiaan jadi lebih indah kalau pernah melewati kesedihan. Kehidupan bermakna amat dalam karena ada kematian. Kesuksesan berakarkan rasa syukur yang mendalam, kalau pernah dibanting kegagalan.
Taman bertumbuh terus bila disirami. Pertumbuhan jiwa juga sama. Tidak saja kebahagiaan yang menyirami kehidupan, kesedihan juga menyirami, terutama karena kesedihan adalah gurunya sikap rendah hati dan mawas diri. Tidak saja kedamaian yang memperkuat kehidupan, bencana juga memperkuat kemudian. Kedamaian memperkuat seperti air yang bertemu kerongkongan dahaga, bencana memperkuat seperti amplas keras dan kasar yang membuat berlian tambah bersinar. Sebagai catatan kontemplasi, Jepang dan Jerman yang kini menjadi salah satu pemimpin dunia, kalah perang secara amat menyedihkan puluhan tahun lalu.
Di puncak semua perjalanan ini, tersisa bait indah kehidupan: ”mawar melati semuanya indah!”. Mawar yang berduri indah, melati yang wangi juga indah. Siapa saja yang bisa melihat keindahan dalam setiap unsur dualitas (bahagia-bencana, untung-rugi, suci-kotor, dipuji-dicaci) dia berada di depan gerbang pencerahan, kemudian hatinya bernyanyi: ”semuanya indah!”.
Dalam bahasa indah sejumlah sahabat penyair, keuntungan adalah hasil pelajaran dari banyak kerugian, kekotoran adalah kesucian yang sedang siap-siap menunjukkan rahasianya, kekayaan adalah sisi lain dari kemiskinan dalam mata uang kehidupan. Pada jiwa yang sedang bertumbuh, dualitas terus bergerak dari satu ujung bandul ke ujung bandul lain. Habis bahagia derita, setelah untung rugi dan seterusnya. Dan lagu anak-anak ini mengajarkan, setelah semua segi kehidupan dicintai, disirami, diterima, kemudian dari dalam sini ada yang bernyanyi: ”semuanya indah!”.
Ini mungkin yang menyebabkan Robert Fulghum pernah menulis “Apa yang perlu dipelajari tentang kehidupan, sudah selengkapnya diajarkan di taman kanak-kanak“. Sebuah masa di mana semuanya terasa indah. Guru dzogchen Chogyal Namkai Norbu menyebutnya primordial state (titik awal sekaligus titik akhir perjalanan ke dalam). Cirinya sederhana, tidak ada hal positif yang perlu diterima, tidak ada hal negatif yang perlu ditolak.