Jumat, 01 Januari 2010

Cahaya-Cahaya Duka Cita

Banyak sudah yang dicapai manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Tidak terhitung kemajuan material yang dihasilkannya. Namun sejalan dengan itu, logika manusia yang semakin kaya diikuti oleh semakin banyak duka cita.
Belum saja air mata kering oleh tewasnya ratusan manusia tidak berdaya oleh serangan bersenjata di Mumbai (India), lagi-lagi air mata duka harus meleleh di Palestina sana karena serangan Israel. Kemajuan iptek, kayanya logika tidak digunakan sebagai jembatan dialog antarmanusia. Sebaliknya digunakan sebagai senjata yang mematikan.
Derasnya kemajuan iptek melalui cepatnya pertumbuhan pendidikan/penelitian memang tidak bisa dibendung, namun terinspirasi oleh aliran-aliran sungai air mata yang tidak mengenal kering, mungkin ini saatnya melengkapi kekayaan logika dengan kekayaan rasa.
Benar pesan seorang guru, agama bukanlah senjata untuk menyerang orang lain. Agama adalah kemulyaan untuk memperbaiki diri. Bila iptek dibuat tumbuh deras oleh keinginan, agama mulai dengan menempatkan keinginan ke tempat semula sebagai pembantu (bukan sebagai penguasa). Tatkala nafsu keinginan sudah kembali menjadi pembantu, lebih mudah mendudukkan agama ke fungsi semula: menjadi sumber kemulyaan bukan sumber kebencian.

Maka dari itulah, agama dimulai dengan pertanyaan seberapa banyak kemarahan/kebencian/keserakahan yang mengotori diri ini. Tanpa pembersihan diri seperti ini, kekayaan logika mana pun hanya akan memperpanjang daftar panjang kesedihan.
Dibimbing kepekaan-kepekaan rasa seperti ini, mungkin berguna dan bermakna kalau belajar menemukan cahaya di balik duka cita:
1. Duka cita telah ada sejak awal sejarah manusia. Iptek, kekayaan logika dan upaya manusia yang lain tidak bisa membuatnya sirna sepenuhnya.
2. Karena tidak bisa dimusnahkan, pasti ada cahaya makna di sana. Berbeda dengan kebanyakan orang yang mau mengenyahkan duka cita, banyak guru yang mencoba menemukan cahaya di balik duka cita. Dan ternyata, duka cita tidak seburuk dibayangkan kebanyakan orang.
3. Dengan kejernihan rasa terlihat, duka cita adalah ‘mesin turbo’ yang mendorong manusia segera keluar dari samudera derita (kelahiran, usia tua, sakit-sakitan, kemalangan, kebencian, kematian dll). Tanpa duka cita, manusia akan diikat kuat-kuat oleh godaan-godaan duniawi, untuk kemudian terus menerus berputar di samudera derita ini. Kebahagiaan memang menawan, tapi ia tidak memberi pelajaran semenawan duka cita.
Cuman, cahaya makna ini hanya mungkin timbul dalam batin yang tidak buru-buru menyebut duka sebagai kesalahan/hukuman, namun dengan penuh kesabaran melihatnya sebagi kekuatan pendorong untuk keluar dari derita berkepanjangan.
Itu sebabnya, banyak sekali orang yang tulus/ikhlas sembahyangnya, meditasinya, dzikirnya, yoganya akan jauh lebih dalam justru ketika sedang digoda duka cita. Karena ada cahaya di sana!
Untuk itu, mungkin layak direnungkan ulang membenci duka cita secara membabi buta. Lebih-lebih menyebutnya sebagai kesalahan/hukuman secara berlebihan. Dibimbing kesabaran/ketulusan/keikhlasan, temukan cahaya bimbingannya. Mengalirlah bersamanya.
4. Duka cita tidak saja menerangi ke dalam (sebagaimana renungan ketiga), ia juga menerangi keluar. Dibimbing kepekaan rasa, belajarlah melihat orang-orang yang menimbulkan duka cita tidak dengan judul menakutkan seperti “musuh/barbar/teroris/zionis” dan sejenisnya. Belajar melihat mereka dengan judul “manusia yang sedang berduka”. Disebut berduka karena sedang kehilangan seluruh akal sehat dan kekayaan rasa. Dengan kehilangan terakhir, mereka sedang tenggelam dalam derita. Untuk itu, mereka tidak membutuhkan kemarahan kita, mereka sedang membutuhkan welas asih kita.
Disamping itu, setiap tindakan kejahatan tidak berdiri sendiri. Dalam bahasa The Book of Mirdad: ‘dalam setiap pembunuhan, si terbunuhlah yang mengasah pisaunya’.
Cara pandang seperti ini diperlukan, sebab bila judulnya “musuh” maka yang muncul di dalam sini adalah kemarahan. Bila judulnya ‘duka cita’ maka yang muncul di dalam sini adalah welas asih.
Dan pintu pemahaman seperti ini muncul bila manusia tekun/sujud/tulus di depan kehidupan, tidak buru-buru dibawa lari oleh kemarahan. Dalam bahasa orang-orang sufi, tidak ada kebetulan, hanya bimbingan-bimbingan.
Semoga semuanya berbahagia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar